A. KONDISI MASYARAKAT SEPENINGGAL
RASULULLAH SAW
Dalam
catatan sejarah Islam diketahui bahwa Muhammad SAW. Selain sebagai rasulullah,
juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau
wafat, fungsinya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada
orang lain. Karena fungsi rasul merupakan hak prerogratif Allah, bukan wilayah
kekuasaan manusia. Akan tetapi, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin
masyarakat, posisi tersebut harus ada yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca
wafatnya Rasulullah SAW, terjadi kebingungan dikalangan masyarakat muslim
ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad
sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini,
Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya
ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhamad, ssungguhnya Muhammad
telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak
akan pernah mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat
al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144.
Surat
ali-‘Imran (3) ayat: 144
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ
قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ
فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain
itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim
Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad SAW
sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar
tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan
kepemimpinan Muhammad SAW. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin
Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.
Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abû Bakar as-Shiddîq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat ‘Umar bin al-Khattâb, ‘Usmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana.
Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abû Bakar as-Shiddîq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat ‘Umar bin al-Khattâb, ‘Usmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana.
Mereka
dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial politik,
juga masalah-masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah para
sahabat rasulullah yang paling dekat, sehingga mereka memiliki otoritas
keagamaan yang cukup mumpuni.
Meskipun
hanya berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
merupakan masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena
pada masa ini, terjadi kemajuan yang cukup signifikan dalam banyak hal,
terutama dalam bidang sosial politik dan pemerintahan. Pada paruh pertama
pemerintahan khalifah Abu Bakar, misalnya, pergolakan sosial terjadi karena
munculnya kelompok pembangkang yang terdiri dari para nabi palsu, mereka yang
menolak membayar zakat, dan gerakan kaum murtad. Semua itu dapat diselesaikan
dengan baik oleh khalifah Abu Bakar.
Keberhasilan
khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang terjadi
pasca wafatnya Rasululah SAW, membuat suasana politik menjadi terkendali,
sehingga ia mampu menjalankan program pengembangan wilayah kekuasaan Islam.
Keadaan ini merupakan fondasi besar dalam menciptakan ketenangan dan keda-maian
di masa-masa sesudahnya, sehingga Islam dapat bertahan hingga kini.
B. SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
Persoalan
pertama yang muncul ke permukaan setelah Nabi Muhamamd SAW wafat, adalah
persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW
sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah SAW menjadi pemimpin
politik dan pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan
siapa yang berhak menjadi peggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak.
Bahkan dalam menjalankan sistem pemerintahan, Rasululah menyerahkannya kepada
umat Islam. Tetapi, ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi dalam bermasyarakat
dan bernegara, yaitu musyawarah atau syura. Prinsip ini sesuai dengan ajaran
Islam. Prinsip musyawarah ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam setiap pergantian pemimpin Islam, yaitu Khulafaur Rasyidin.
Abu
Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara
demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut
sesuai dengan sistem perundingan yang dipergunakan dalam jaman modern se-perti
sekarang ini. Kaum Anshar, menekankan pada persyaratan jasa yang mereka telah
berikan bagi umat Islam dan pengembangan Islam. Karena itu, mereka mengajukan
calon sebagai kandidat pemimpin, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum Muhajirin
menekankan pada aspek kesetian dan perjuangan dalam masa-masa awal pengembangan
Islam di Makkah hingga Madinah. Untuk itu, mereka mengajukan nama calon, yaitu
Abu Ubaidah bin Jarah. Sedang Ahl al-bait, menghendaki agar Ali bin Abi Thalib
dicalonkan sebagai khalifah. Pengajuan nama Ali bin Abi Thalib dalam permusyawaratan
tersebut didasari atas jasa, kedudukan dan statusnya sebagai anak angkat
sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Perdebatan
siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhamad SAW sebagai kepala
pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam,
antara Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang
dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi
untuk menduduki jabatan khalifah.
Selesai
terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato
sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu antara
lain adalah“ ...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai
khalifah. Meskipun saya bukan yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi
saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila
berada dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di jalan yang
salah". Lalu pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku
sebagaimaa aku mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan
Rasulnya, jangan sekali-kali kalian mematuhi aku“.
Pidato
tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya
sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas
yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan
dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut
serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan
berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, la
tidak gila jabatan dan juga tidak gila kedudukan, jabatan dan harta.
Sementara
Umar bin al-Khattab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan
disetujui secara aklamasi oleh umat Islam. Proses pengangkatan ini diawali
dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta Umar bin al-Khattab bersedia menggantikan
kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia. Ijthad ini didasari atas kenyataan
dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan khalifah, yaitu timbulnya
krisis politik dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal umat Islam,
jika tidak segara diselesaikan oleh Umar bin al-Khattab dan Abu Bakar
al-Shiddieq. Berdasarkan pengalaman sejarah ini, maka khalifah Abu Bakar meminta
Umar untuk menjadi penggantinya. Permintaan ini pun disetujui oleh Umar, hanya
Umar meminta agar persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh
masyarakat, agar tidak terjadi salah paham. Permintaan itu dipenuhi, untuk itu
kemudian Abu Bakar meminta pendapat para sahabat mengenai pilihannya itu,
ketika mereka menjenguknya pada saat khalifah Abu Bakar terbaring sakit di
tempat tidur. Pilihan itu pun disetujui oleh para pemuka masyarakat, Kemudian
Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu, kemudian ia membai’at Umar bin
al-Khattab. Beberapa hari kemudian, Abu Bakar al-Shiddiq meninggal dunia.
Peristiwa ini terjadi pada Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M.
Sedang
‘Usmân bin ‘Affân dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang
sahabat. Dewan ini dibentuk khalifah Umar bin al-Khattab ketika khalifah sedang
sakit. Prosedur ini ditempuh guna memaksimalkan potensi yang ada di masing-masing
sahabat, selain masih tetap mempertahankan prinsip syura, yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW. Hanya modelnya yang berbeda dibanding dengan model pemilihan
masa-masa sebelumnya. Pemilihan melalui Dewan Enam ini, diharapkan menghasilkan
calon pemimpin handal yang mampu menjalankan amanah demi penegakkan Islam dan
pengembangannya ke luar jazirah Arabia.
Seperti
ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar
bin al-Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin
al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui Dewan. Dewan ini dibentuk ketika khalifah
Umar ibn al-Khattab sakit. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengatasi
persoalan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepemimpinan
setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari ‘Usmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib,
Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwâm, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf, dan Sa'ad
bin Abî Waqqâsh. Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang
akan menggantikannya sebagai khalifah.‘Abdurrahmân bin ‘Aûf dipercayakan
menjadi ketua panitia pemilihan tersebut.
Ada
sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan harus
didasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses pemilihan
tersebut salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka
dialah yang berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila terdapat
suara seimbang, maka keputusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang
menjadi hakimnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar.
Setelah
‘Umar bin al-Khattâb meninggal dunia, maka ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf menjalankan
tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan.
Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka
dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian
menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan khalifah
‘Umar ibn al-Khattâb.
Selain
menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mendengarkan pendapat
dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan
lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai lapisan
masyarakat, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera
dilaksanakan.
Namun
proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui
kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu disebabkan karena
Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat menginginkan
‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dicalonkan
timbul perbedaan pendapat. ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf cenderung kepada ‘Usmân ibn
‘Affân, sementara Sa'ad ibn Abi Waqqash menginginkan ‘Alî bin Abi Thâlib
menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang
sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapatnya.
Keempat, baik ‘Usmân ibn ‘Affân maupun ‘Alî bin Abî Thâlib, masing-masing
memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Demikialah
problem yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khalifah. Namun
berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya proses
pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan
‘Usmân bin ‘Affân terpilih sebagai khlifah dengan perolehan 4 suara, sedang
‘Alî bin Abi Thâlib, memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa ‘Usmân bin
‘Affân ke kursi kekuasaan. Untuk itu, kemudian ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mengangkat
tangan ‘Usmân bin ‘Affân sebagai tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti
khalifah terdahulu, yaitu ‘Umar ibn al-Khattâb.
Ketika
terpilih sebagai khalifah, ‘Usmân bin ‘Affân telah berusia 70 tahun, usia yang
telah matang dan penuh bijaksana. Namun para sahabatnya banyak yang memanfaatkan
situasi ini untuk memperoleh keuntungan kolompoknya, seperti Bani Umayah dan
para kerabatnya. ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah selama 12 tahun.
Sementara
itu, tampilnya ‘Alî bin Abi Thâlib ke pucuk pimpinan, ketika negara tengah
mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya khalifah ‘Usmân
bin ‘Affân oleh para pemberontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang
dikeluarkan selama masa pemerintahannya. ‘Alî bin Abi Thâlib diangkat oleh
jama’ah umat Islam dan sebagian besar adalah para pemberontak. Dalam situasi
seperti itu, haraus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan.
Akan tetapi, tidak ada seorangpun ketika itu yang mau diangkat menjadi
khalifah, selagi ‘Alî bin Abi Thâlib masih hidup.
C. BERBAGAI
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KHULAFAUR-RASYIDIN.
1.
Kebijakan khalifah Abu Bakar al-Shiddieq.
Selama
masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berlangsung selama lebih kurang 30
tahun, banyak kebijakan yang dikeluarkan. kebijakan-kebijakan tersebut semuanya
bermuara pada upaya pengembangan peradaban Islam dan mempertahankan ajaran
Islam dengan sebaik-baiknya.
Pada masa awal kepemimpinan khalifah Abu Bakar, situasi sosial politik dan keagaman sangat tidak kondusif bagi pengembangan wilayah kekuasaan Islam, karena pada saat itu banyak persoalan yang dihadapi khalifah. Di antara kebijakan yang dikeluarkan pada masa itu adalah memberantas kaum murtad (kaum riddah), pemberantasan kaum munafik, dan para nabi palsu.
Pada masa awal kepemimpinan khalifah Abu Bakar, situasi sosial politik dan keagaman sangat tidak kondusif bagi pengembangan wilayah kekuasaan Islam, karena pada saat itu banyak persoalan yang dihadapi khalifah. Di antara kebijakan yang dikeluarkan pada masa itu adalah memberantas kaum murtad (kaum riddah), pemberantasan kaum munafik, dan para nabi palsu.
Sebagai
khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi persoalan politik keagamaan, terutama
penentangan dari kaum murtad (kaum riddah), memberantas nabi palsu, dan mereka
yang enggan membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah Abu Bakar
melakukan musyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan.
Meski terjadi perbedaan pendapat mengenai tindakan apa yang harus dilakukan, ia
tetap tegar, bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan memerangi semua golongan
yang menyimpang dari kebenaran, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar
atau gugur sebagai syahid dalam menegakkan dan memperjuangkan kemuliaan agama
Islam.
Ketegasan
khalifah Abu Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir seluruh umat Islam.
Untuk memerangi masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan. Ada langkah strategis
yang dilakukan khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu pengiriman surat.
Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada meraka dan mengajak untuk kembali kepada
ajaran Islam yang benar, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha
tersebut tidak mendapat respons positif, bahkan mereka malah menun-jukan
penentangannya. Berdasarkan ini, maka khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk
memerangi mereka. Usaha ini berhasil gemilang. Kebijakan tersebut dilakukan
bertujuan agar tercipta suasana yang aman, bersatunya kembali umat Islam
dibawah sistem pemerintahan khalifah. Lebih dari itu semua, demi tegaknya
keadilan. Hal lain yang dilakukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai sekretaris negara, selain Umar bi
al-Khattab dan Ubaidillah bin Jarrah.
Selama
masa pemerintahnnya yang berangsung lebih kurang 2 tahun 3 bulan, banyak hal
yang talah dilakukannya. Hal terpenting lainnya yang dilakukan khalifah Abu
Bakar adalah memberikan perlindungan kepada mustad’afin¸ kaum yang lemah dari
kesewenang-wenangan. Dalam masalah ini, ia akan bertindak adil. Siapapun yang
melakukan kesewenangan akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain
mengatasi krisis keimanan dengan munculnya kaum murtad, khalifah Abu Bakar juga
melakukan pengamanan dalam masalah kaum munafik. Ia memandang bahwa gerakan kaum
munafik merupakan sebuah gerakan yang sangat berbahaya, karena hampir di
seluruh penjuru Arabia muncul gerakan semacam ini. Meskipun begitu tanpa rasa
gentar sedikitpun, Abu Bakar menyusun kekuatan untuk menumpas gerakan tersebut
dengan semangat perjuangan penegakkan Islam. Dalam waktu satu tahun Abu Bakar
berhasil mengembalikan stabititas politik pemerintahan Islam.
Untuk
mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok tersebut, Abu Bakar
menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batalyon untuk
dikirim ke berbagai daerah pemberontakan. Kepada masing-masing komandan
bantalyon, Abu Bakar menyampaikan instruksi mengajak mereka yang terlibat dalam
pemberontakan agar kembali kepada ajaran Islam. Apabila mereka menolak ajakan
tersebut, maka mereka boleh diperangi sampai habis.
Sebagian mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran Islam tanpa peperangan, namun sebagian besar mereka bertahan pada sikapnya melawan Islam, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan. Khalid ibn al-Walid meru-pakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi Thulaihah dalam peperangan Buzaka. Khalid berhasil mengalahkan mereka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhirnya menerima kembali ajakan untuk memeluk Islam, termasuk suku Bani As'ad. Gerakan para nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid ibn al-Walid, setetah Ikrimah dan Syurahbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah al-Kazaab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M. Musailamah dan ribuan pasukannya tewas mengenaskan di dalam benteng pertahanan mereka.
Sebagian mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran Islam tanpa peperangan, namun sebagian besar mereka bertahan pada sikapnya melawan Islam, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan. Khalid ibn al-Walid meru-pakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi Thulaihah dalam peperangan Buzaka. Khalid berhasil mengalahkan mereka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhirnya menerima kembali ajakan untuk memeluk Islam, termasuk suku Bani As'ad. Gerakan para nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid ibn al-Walid, setetah Ikrimah dan Syurahbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah al-Kazaab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M. Musailamah dan ribuan pasukannya tewas mengenaskan di dalam benteng pertahanan mereka.
Dari
empat tokoh gerakan anti Islam, dua diantaranya tewas terbunuh dalam
peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh
lainnya, yaitu Saj'ah dan Thulaihah selamat dan kembali kepada ajaran Islam.
Keberhasilan Abu Bakar dan pasukannnya dalam memberantas para pembangkan, selain
memperkokoh identitas Islam, juga
membuka gerbang kejayaan Islam di masa-masa selanjutnya. Kemenangan pasukan
Islam dalam meredam gejolak dalam negeri menimbulkan semangat diri dan
kepercayaan diri untuk melanjutkan ekspansi ke wilayah Byzantium dan Sasania.
Setelah
berhasil mengalahkan pasukan pemberontak, pada tahun 633 Abu Bakar
memerintahkan Khalid ibn al-Walid untuk menaklukkan wilayah-wilayah perbatasan
Syria dan la berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Islam hingga ke berbagai
tempat bekas kekuasaan Persia dan Byzantium.
2.
Kebijakan khalifah Umar bin al-Khattab
Periode
Umar bin al-Khattab boleh dibilang periode yang cukup aman dan tentram. Tidak
banyak pemberontakan yang terjadi. Bahkan dalam catatan sejarah Islam, periode
kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab disebut sebagai masa yang cukup
makmur, aman dan damai. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan untuk membangun
sistem pemetintahan negara, agar lebih efektif dan efisien, sehingga hasil
pembanguan dapat dirasakan secara merata ke segenap masyarakat yang berada di
bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Ada
dua arah kebijaan yang dilakaukan khalifah Umar bin al-Khattab. Pertama,
kebijakan internal, yaitu membangun sistem pemetintahan dalam negeri dengan membentuk
departemen-departemen yang menangani masalah-masalah sosial politik dan sebagainya.
Kedua, kebijakan eksternal, yaitu dengan usaha memperluas wilayah penyebaran
Islam ke luar jazirah Arabia.
Pembentukan
beberapa departeman, merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindai lagi,
karena wilayah kekuasaan Islam telah mencapai Mesir dan beberapa wilayah
lainnya di Jazirah Arabia. Untuk mempermudah sistem ketatanegaraan dan
pelayanan, maka dibentuklah departemen-departemen tersebut. Model ini diadopsi
dari sistem pemerintahan Persia.
Tugas
utama lembaga ini adalah menyampaikan perintah khalifah ke beberapa daerah atau
wilayah yang jauh dari Madinah. Untuk melancarkan hubungan antar daerah,
wilayah negara dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Mekah, Madinah, Syria,
Jazirah, Basrah, Kufha, Palestina, dan Mesir. Masing-masing propinsi berada di
bawah kekuasaan seorang gubernur, seperti Kufah berada di bawah kekuasaan Sa'ad
ibn Abi Waqqash. Basrah di bawah kekuaaaan 'Athbah ibn Khazuan, dan Fusthath di
bawah kekuasaan 'Amr ibn al-‘Ash.
Pada
masa pemerintahan khalifah Umar juga mulai ditertibkan pembayaran gaji dan
pajak tanah. Berkaitan dengan masalah perpajakan, khalifah Umar bin al-Khattab
membagi warga negara menjadi dua bagian; pertama, masyarakat muslim, dan kedua,
masyarakat non-muslim, yang disebut alh al-dzimmi, atau warganegara non muslim
yang mendapat pelindungan (suaka) negara. Untuk warga negara muslim, mereka wajib
bayar zakat. Sedangn non muslim, mereka dikenalan jizyah (pajak perorangan),
dan kharraj, pajak tanah. Sementara untuk masalah hukum, khalifah menerapkan
peraturan yang berbeda. Bagi muslim, diberlakukan hukum Islam. Sedang non
muslim diberlakukan hukum menurut agama atau adat istiadat mereka
masing-masing.
Untuk
mencapai pemerataan dalam pembangunan, kahlifah Umar bin al-Khattab mengubah
sistem sentralisisasi menjadi desentralisasi. Untuk menjaga keamanan, khalifah
juga membentuk jawatan kepolisian atau diwan al-syurthah, dan jawatan pekerjaan
umum. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah Umar bin al-Khattab lembaga
keuangan yang disebut Baitul Mal. Sejak masa itu, pemerintahan khalifah Umar
bin al-Khattab telah memiliki mata uang sendiri.
Kebiajakan
lain yang sangat monumental adalah penetapan tahun hijriyah sebagai tahun baru
umat Islam. Penetapan tahun baru umat Islam ini atas inisiatif Alî bin Abî
Thâlib, yang kemudian direspon oleh khalifah ‘Umar bin al-Khâttab.
Dalam
usaha penetapan itu terjadi diskusi antara tokoh umat Islam, antara lain Alî
bin Abî Thâlib. Ada yang mengusulkan penetapan tahun baru umat Islam didasari
atas sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW, atau hijrah Madinah. Alî bin Abî
Thâlib mengusulkan agar penetapan tahun baru umat Islam didasari atas peristiwa
hijrah Nabi dan umat Islam ke Madinah. Usulan inilah yang kemudian diterima
khalifah Umar bin al-Khattab dan kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai tahun
baru umat Islam, yaitu pada tahun 622 M/ 1 H.
3.
Kebijakan Khalifah Usman bin Affan
Situasi
ini sangat berbeda pada masa pemerintahan khalifah ‘Usmân bin Affân. Pada paruh
pertama kepemimpinannya, negara berada dalam keadaan aman, damai, tenteram dan
sejahtera. Karena situasinya sangat mendukung bagi usaha melanjutkan program
pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab.
Tetapi pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis kepercayaan
yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini timbul karena
ada sekelompok orang yang terdiri dari keluarga dekatnya yang memanfaatkan
posisi Usman bin Affan. Hal ini kurang disadari khalifah Usman, sehingga banyak
kroni dan orang-orang terdekatnya memanfaatkan ketulusan dan kejujuran khalifah.
Dalam
beberapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang kurang populer, misalnya mengangkat
para pejabat negara, seperti gubernur dari keluarganya sendiri. Khalifah Usman
mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai Sekretaris Negara, al-Walid bin Uqbah sebagai
gubernur Kufah, menggantikan posisi Sa’ad. Al-Walid bin Uqbah adalah saudaranya
yang suka mabuk-mabukan. Selain itu, ia juga menempatkan sepupunya, Abdullah
bin Sa’ad, sebagai gubernu Mesir, menggantikan posisi ‘Amr bin al-‘Ash.
Kebijakan ini menuai protes keras dari masyarakat Kufah dan Mesir, serta para
pendukung ‘Amr bin al-‘Ash. Kebikajakan lain yang mengenai protes masyarakat
adalah kebijakan satu mushaf, dan menghapus mushaf-mushaf lain yang beredar di
masyarakat. Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu menyamakan seluruh mushaf
dengan mushaf yang ada di tangan khalifah Usman, yang sudah dibukukan sejak masa
khalifah Abu Bakar al-Shiddiq.
Pada
masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab, tanah rampasan perang menjadi
miliki negara. Tetapi pada masa khalifah Usman bin Affan, tanah tersebut dibagikan.
Tujuannya sebenarnya baik, agar tanah tersebut menjadi lebih produktif. Bahkan
ia mengangkat juru hitung (Sawafi) untuk mengurusi semua itu. Tetapi karena
situasainya tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis kepercayaan dan
konflik, maka situasinya jadi berbeda. Masyarakat menolak dan memprotes kebijakan
tersebut. Penolakan dan demonstrasi anti Usman ini berujung pada peristwa
terbunuhnya khalifah oleh orang tak dikenal.
Meskipun
begitu, banyak jasa dan usaha yang dilakukan khalifah Usman bernilai positif.
Misalnya, ia membangun angkatan laut, hingga pasukan Islam dapat menyeberangi
lautan dan menyeberkan agama Islam ke luar jazirah Arabia. Selain itu, ia juga
membangun dan memperbaiki masjid Nabawi, membangun jalan, jembatan, membangun
bendungan di kota Madinah agar tidak banjir ketika musim banjir tiba.
4.
Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sebagai
khalifah keempat, tampaknya Ali bin Abi Thalib meneruskan kebijakan yang pernah
ditempuh oleh khalifah Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab. Ia menerapkan
prinsip-prinsip baitul mal dengan tepat, dan memutuskan untuk mengembalikan semua
tanah yang diambilalih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaharaan negara. Begitu
juga ia menarik semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar hukum yang
jelas yang diberikan khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani Umayah.
Di
samping itu, khalifah Ali mengganti semua gubernur yang diangkat pada masa
Usman dan tidak disukai masyarakat. Karena ia berasumsi bahwa, selain karena para
gubernur tersebut tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling bertanggung
jawab atas kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Usman
bin Affan pada 12 Dzulhijjah tahun 35 H. Untuk itu, khalifah Ali meminta agar
gubernur Kufah, al-Walid bin Uqbah mengudurkan diri. Begitu juga kepada Mu’awiyah
agar meletakkan jabatan gubernur Syria.
Permintaan
tersebut ditolak, sehingga timbul kerusuhan dan konflik berkepan-jangan antara
khalifah Ali dengan para pejabat gubernur tersebut. Penolakan ini berujung pada
sebuah pertempuran diShiffin pada 38 H/657 M. Pertempuran ini memperlemah
kekuatan khalifah Ali dan memperkuat posisi Mu’awiyah. Karena pasukan Ali
terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali dan mereka
yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali. Mereka yang masih setia
kepada khalifah Ali disebut kelompok Syi’ah atau Syiatu Ali. Sedang mereka yang
menyatakan deserse disebut kelompok Khawarij. Kelompok terakhir inilah yang
paling gencar melakukan gerakan untuk membunuh khalifah Ali dan Mu’awiyah serta
mereka yang terlibat dalam fakta perdamaian ( Tahkim ) di Daumatul Jandal.
Penolakan
juga datang dari kubu sahabat Nabi lainnya, seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah.
Keributan antara khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil
yang dikenal dalam sejarah Islam dengan Waq’ah al-Jamal atau Perang Unta.
Konflik ini kalau tidak teratasi dengan baik,akan menimbulkan perang terbuka
antara pasukan Ali dengan pasukan Aisyah.