Laman

Selasa, 12 November 2013

KEPEMIMPINAN UMAT ISLAM PASCA NABI MUHAMMAD SAW



A. KONDISI MASYARAKAT SEPENINGGAL RASULULLAH SAW
Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa Muhammad SAW. Selain sebagai rasulullah, juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsinya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi rasul merupakan hak prerogratif Allah, bukan wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya Rasulullah SAW, terjadi kebingungan dikalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhamad, ssungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144.
Surat ali-‘Imran (3) ayat: 144
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad SAW sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad SAW. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.
Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abû Bakar as-Shiddîq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat ‘Umar bin al-Khattâb, ‘Usmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana.
Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial politik, juga masalah-masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah para sahabat rasulullah yang paling dekat, sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup mumpuni.
Meskipun hanya berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, merupakan masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena pada masa ini, terjadi kemajuan yang cukup signifikan dalam banyak hal, terutama dalam bidang sosial politik dan pemerintahan. Pada paruh pertama pemerintahan khalifah Abu Bakar, misalnya, pergolakan sosial terjadi karena munculnya kelompok pembangkang yang terdiri dari para nabi palsu, mereka yang menolak membayar zakat, dan gerakan kaum murtad. Semua itu dapat diselesaikan dengan baik oleh khalifah Abu Bakar.
Keberhasilan khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang terjadi pasca wafatnya Rasululah SAW, membuat suasana politik menjadi terkendali, sehingga ia mampu menjalankan program pengembangan wilayah kekuasaan Islam. Keadaan ini merupakan fondasi besar dalam menciptakan ketenangan dan keda-maian di masa-masa sesudahnya, sehingga Islam dapat bertahan hingga kini.

B. SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
Persoalan pertama yang muncul ke permukaan setelah Nabi Muhamamd SAW wafat, adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah SAW menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi peggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Bahkan dalam menjalankan sistem pemerintahan, Rasululah menyerahkannya kepada umat Islam. Tetapi, ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi dalam bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah atau syura. Prinsip ini sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip musyawarah ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pemimpin Islam, yaitu Khulafaur Rasyidin.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai dengan sistem perundingan yang dipergunakan dalam jaman modern se-perti sekarang ini. Kaum Anshar, menekankan pada persyaratan jasa yang mereka telah berikan bagi umat Islam dan pengembangan Islam. Karena itu, mereka mengajukan calon sebagai kandidat pemimpin, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum Muhajirin menekankan pada aspek kesetian dan perjuangan dalam masa-masa awal pengembangan Islam di Makkah hingga Madinah. Untuk itu, mereka mengajukan nama calon, yaitu Abu Ubaidah bin Jarah. Sedang Ahl al-bait, menghendaki agar Ali bin Abi Thalib dicalonkan sebagai khalifah. Pengajuan nama Ali bin Abi Thalib dalam permusyawaratan tersebut didasari atas jasa, kedudukan dan statusnya sebagai anak angkat sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Perdebatan siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhamad SAW sebagai kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam, antara Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi untuk menduduki jabatan khalifah.
Selesai terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu antara lain adalah“ ...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai khalifah. Meskipun saya bukan yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila berada dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di jalan yang salah". Lalu pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku sebagaimaa aku mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, jangan sekali-kali kalian mematuhi aku“.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, la tidak gila jabatan dan juga tidak gila kedudukan, jabatan dan harta.
Sementara Umar bin al-Khattab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui secara aklamasi oleh umat Islam. Proses pengangkatan ini diawali dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta Umar bin al-Khattab bersedia menggantikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia. Ijthad ini didasari atas kenyataan dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan khalifah, yaitu timbulnya krisis politik dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal umat Islam, jika tidak segara diselesaikan oleh Umar bin al-Khattab dan Abu Bakar al-Shiddieq. Berdasarkan pengalaman sejarah ini, maka khalifah Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi penggantinya. Permintaan ini pun disetujui oleh Umar, hanya Umar meminta agar persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, agar tidak terjadi salah paham. Permintaan itu dipenuhi, untuk itu kemudian Abu Bakar meminta pendapat para sahabat mengenai pilihannya itu, ketika mereka menjenguknya pada saat khalifah Abu Bakar terbaring sakit di tempat tidur. Pilihan itu pun disetujui oleh para pemuka masyarakat, Kemudian Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu, kemudian ia membai’at Umar bin al-Khattab. Beberapa hari kemudian, Abu Bakar al-Shiddiq meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M.
Sedang ‘Usmân bin ‘Affân dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang sahabat. Dewan ini dibentuk khalifah Umar bin al-Khattab ketika khalifah sedang sakit. Prosedur ini ditempuh guna memaksimalkan potensi yang ada di masing-masing sahabat, selain masih tetap mempertahankan prinsip syura, yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Hanya modelnya yang berbeda dibanding dengan model pemilihan masa-masa sebelumnya. Pemilihan melalui Dewan Enam ini, diharapkan menghasilkan calon pemimpin handal yang mampu menjalankan amanah demi penegakkan Islam dan pengembangannya ke luar jazirah Arabia.
Seperti ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin al-Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui Dewan. Dewan ini dibentuk ketika khalifah Umar ibn al-Khattab sakit. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari ‘Usmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwâm, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf, dan Sa'ad bin Abî Waqqâsh. Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan menggantikannya sebagai khalifah.‘Abdurrahmân bin ‘Aûf dipercayakan menjadi ketua panitia pemilihan tersebut.
Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan harus didasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses pemilihan tersebut salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka dialah yang berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila terdapat suara seimbang, maka keputusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang menjadi hakimnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar.
Setelah ‘Umar bin al-Khattâb meninggal dunia, maka ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan. Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mendengarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai lapisan masyarakat, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu disebabkan karena Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat menginginkan ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf cenderung kepada ‘Usmân ibn ‘Affân, sementara Sa'ad ibn Abi Waqqash menginginkan ‘Alî bin Abi Thâlib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapatnya. Keempat, baik ‘Usmân ibn ‘Affân maupun ‘Alî bin Abî Thâlib, masing-masing memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Demikialah problem yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khalifah. Namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan ‘Usmân bin ‘Affân terpilih sebagai khlifah dengan perolehan 4 suara, sedang ‘Alî bin Abi Thâlib, memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa ‘Usmân bin ‘Affân ke kursi kekuasaan. Untuk itu, kemudian ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mengangkat tangan ‘Usmân bin ‘Affân sebagai tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu ‘Umar ibn al-Khattâb.
Ketika terpilih sebagai khalifah, ‘Usmân bin ‘Affân telah berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan penuh bijaksana. Namun para sahabatnya banyak yang memanfaatkan situasi ini untuk memperoleh keuntungan kolompoknya, seperti Bani Umayah dan para kerabatnya. ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah selama 12 tahun.
Sementara itu, tampilnya ‘Alî bin Abi Thâlib ke pucuk pimpinan, ketika negara tengah mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya khalifah ‘Usmân bin ‘Affân oleh para pemberontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya. ‘Alî bin Abi Thâlib diangkat oleh jama’ah umat Islam dan sebagian besar adalah para pemberontak. Dalam situasi seperti itu, haraus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun ketika itu yang mau diangkat menjadi khalifah, selagi ‘Alî bin Abi Thâlib masih hidup.
C. BERBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KHULAFAUR-RASYIDIN.
1. Kebijakan khalifah Abu Bakar al-Shiddieq.
Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, banyak kebijakan yang dikeluarkan. kebijakan-kebijakan tersebut semuanya bermuara pada upaya pengembangan peradaban Islam dan mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
Pada masa awal kepemimpinan khalifah Abu Bakar, situasi sosial politik dan keagaman sangat tidak kondusif bagi pengembangan wilayah kekuasaan Islam, karena pada saat itu banyak persoalan yang dihadapi khalifah. Di antara kebijakan yang dikeluarkan pada masa itu adalah memberantas kaum murtad (kaum riddah), pemberantasan kaum munafik, dan para nabi palsu.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi persoalan politik keagamaan, terutama penentangan dari kaum murtad (kaum riddah), memberantas nabi palsu, dan mereka yang enggan membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah Abu Bakar melakukan musyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Meski terjadi perbedaan pendapat mengenai tindakan apa yang harus dilakukan, ia tetap tegar, bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau gugur sebagai syahid dalam menegakkan dan memperjuangkan kemuliaan agama Islam.
Ketegasan khalifah Abu Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir seluruh umat Islam. Untuk memerangi masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan. Ada langkah strategis yang dilakukan khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu pengiriman surat. Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada meraka dan mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha tersebut tidak mendapat respons positif, bahkan mereka malah menun-jukan penentangannya. Berdasarkan ini, maka khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk memerangi mereka. Usaha ini berhasil gemilang. Kebijakan tersebut dilakukan bertujuan agar tercipta suasana yang aman, bersatunya kembali umat Islam dibawah sistem pemerintahan khalifah. Lebih dari itu semua, demi tegaknya keadilan. Hal lain yang dilakukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai sekretaris negara, selain Umar bi al-Khattab dan Ubaidillah bin Jarrah.
Selama masa pemerintahnnya yang berangsung lebih kurang 2 tahun 3 bulan, banyak hal yang talah dilakukannya. Hal terpenting lainnya yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah memberikan perlindungan kepada mustad’afin¸ kaum yang lemah dari kesewenang-wenangan. Dalam masalah ini, ia akan bertindak adil. Siapapun yang melakukan kesewenangan akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain mengatasi krisis keimanan dengan munculnya kaum murtad, khalifah Abu Bakar juga melakukan pengamanan dalam masalah kaum munafik. Ia memandang bahwa gerakan kaum munafik merupakan sebuah gerakan yang sangat berbahaya, karena hampir di seluruh penjuru Arabia muncul gerakan semacam ini. Meskipun begitu tanpa rasa gentar sedikitpun, Abu Bakar menyusun kekuatan untuk menumpas gerakan tersebut dengan semangat perjuangan penegakkan Islam. Dalam waktu satu tahun Abu Bakar berhasil mengembalikan stabititas politik pemerintahan Islam.
Untuk mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok tersebut, Abu Bakar menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batalyon untuk dikirim ke berbagai daerah pemberontakan. Kepada masing-masing komandan bantalyon, Abu Bakar menyampaikan instruksi mengajak mereka yang terlibat dalam pemberontakan agar kembali kepada ajaran Islam. Apabila mereka menolak ajakan tersebut, maka mereka boleh diperangi sampai habis.
Sebagian mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran Islam tanpa peperangan, namun sebagian besar mereka bertahan pada sikapnya melawan Islam, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan. Khalid ibn al-Walid meru-pakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi Thulaihah dalam peperangan Buzaka. Khalid berhasil mengalahkan mereka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhirnya menerima kembali ajakan untuk memeluk Islam, termasuk suku Bani As'ad. Gerakan para nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid ibn al-Walid, setetah Ikrimah dan Syurahbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah al-Kazaab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M. Musailamah dan ribuan pasukannya tewas mengenaskan di dalam benteng pertahanan mereka.
Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua diantaranya tewas terbunuh dalam peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh lainnya, yaitu Saj'ah dan Thulaihah selamat dan kembali kepada ajaran Islam. Keberhasilan Abu Bakar dan pasukannnya dalam memberantas para pembangkan, selain memperkokoh identitas Islam,  juga membuka gerbang kejayaan Islam di masa-masa selanjutnya. Kemenangan pasukan Islam dalam meredam gejolak dalam negeri menimbulkan semangat diri dan kepercayaan diri untuk melanjutkan ekspansi ke wilayah Byzantium dan Sasania.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan pemberontak, pada tahun 633 Abu Bakar memerintahkan Khalid ibn al-Walid untuk menaklukkan wilayah-wilayah perbatasan Syria dan la berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Islam hingga ke berbagai tempat bekas kekuasaan Persia dan Byzantium.


2. Kebijakan khalifah Umar bin al-Khattab
Periode Umar bin al-Khattab boleh dibilang periode yang cukup aman dan tentram. Tidak banyak pemberontakan yang terjadi. Bahkan dalam catatan sejarah Islam, periode kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab disebut sebagai masa yang cukup makmur, aman dan damai. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan untuk membangun sistem pemetintahan negara, agar lebih efektif dan efisien, sehingga hasil pembanguan dapat dirasakan secara merata ke segenap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Ada dua arah kebijaan yang dilakaukan khalifah Umar bin al-Khattab. Pertama, kebijakan internal, yaitu membangun sistem pemetintahan dalam negeri dengan membentuk departemen-departemen yang menangani masalah-masalah sosial politik dan sebagainya. Kedua, kebijakan eksternal, yaitu dengan usaha memperluas wilayah penyebaran Islam ke luar jazirah Arabia.
Pembentukan beberapa departeman, merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindai lagi, karena wilayah kekuasaan Islam telah mencapai Mesir dan beberapa wilayah lainnya di Jazirah Arabia. Untuk mempermudah sistem ketatanegaraan dan pelayanan, maka dibentuklah departemen-departemen tersebut. Model ini diadopsi dari sistem pemerintahan Persia.
Tugas utama lembaga ini adalah menyampaikan perintah khalifah ke beberapa daerah atau wilayah yang jauh dari Madinah. Untuk melancarkan hubungan antar daerah, wilayah negara dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufha, Palestina, dan Mesir. Masing-masing propinsi berada di bawah kekuasaan seorang gubernur, seperti Kufah berada di bawah kekuasaan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Basrah di bawah kekuaaaan 'Athbah ibn Khazuan, dan Fusthath di bawah kekuasaan 'Amr ibn al-‘Ash.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar juga mulai ditertibkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Berkaitan dengan masalah perpajakan, khalifah Umar bin al-Khattab membagi warga negara menjadi dua bagian; pertama, masyarakat muslim, dan kedua, masyarakat non-muslim, yang disebut alh al-dzimmi, atau warganegara non muslim yang mendapat pelindungan (suaka) negara. Untuk warga negara muslim, mereka wajib bayar zakat. Sedangn non muslim, mereka dikenalan jizyah (pajak perorangan), dan kharraj, pajak tanah. Sementara untuk masalah hukum, khalifah menerapkan peraturan yang berbeda. Bagi muslim, diberlakukan hukum Islam. Sedang non muslim diberlakukan hukum menurut agama atau adat istiadat mereka masing-masing.
Untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan, kahlifah Umar bin al-Khattab mengubah sistem sentralisisasi menjadi desentralisasi. Untuk menjaga keamanan, khalifah juga membentuk jawatan kepolisian atau diwan al-syurthah, dan jawatan pekerjaan umum. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah Umar bin al-Khattab lembaga keuangan yang disebut Baitul Mal. Sejak masa itu, pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab telah memiliki mata uang sendiri.
Kebiajakan lain yang sangat monumental adalah penetapan tahun hijriyah sebagai tahun baru umat Islam. Penetapan tahun baru umat Islam ini atas inisiatif Alî bin Abî Thâlib, yang kemudian direspon oleh khalifah ‘Umar bin al-Khâttab.
Dalam usaha penetapan itu terjadi diskusi antara tokoh umat Islam, antara lain Alî bin Abî Thâlib. Ada yang mengusulkan penetapan tahun baru umat Islam didasari atas sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW, atau hijrah Madinah. Alî bin Abî Thâlib mengusulkan agar penetapan tahun baru umat Islam didasari atas peristiwa hijrah Nabi dan umat Islam ke Madinah. Usulan inilah yang kemudian diterima khalifah Umar bin al-Khattab dan kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai tahun baru umat Islam, yaitu pada tahun 622 M/ 1 H.
3. Kebijakan Khalifah Usman bin Affan
Situasi ini sangat berbeda pada masa pemerintahan khalifah ‘Usmân bin Affân. Pada paruh pertama kepemimpinannya, negara berada dalam keadaan aman, damai, tenteram dan sejahtera. Karena situasinya sangat mendukung bagi usaha melanjutkan program pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab. Tetapi pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini timbul karena ada sekelompok orang yang terdiri dari keluarga dekatnya yang memanfaatkan posisi Usman bin Affan. Hal ini kurang disadari khalifah Usman, sehingga banyak kroni dan orang-orang terdekatnya memanfaatkan ketulusan dan kejujuran khalifah.
Dalam beberapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang kurang populer, misalnya mengangkat para pejabat negara, seperti gubernur dari keluarganya sendiri. Khalifah Usman mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai Sekretaris Negara, al-Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah, menggantikan posisi Sa’ad. Al-Walid bin Uqbah adalah saudaranya yang suka mabuk-mabukan. Selain itu, ia juga menempatkan sepupunya, Abdullah bin Sa’ad, sebagai gubernu Mesir, menggantikan posisi ‘Amr bin al-‘Ash. Kebijakan ini menuai protes keras dari masyarakat Kufah dan Mesir, serta para pendukung ‘Amr bin al-‘Ash. Kebikajakan lain yang mengenai protes masyarakat adalah kebijakan satu mushaf, dan menghapus mushaf-mushaf lain yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu menyamakan seluruh mushaf dengan mushaf yang ada di tangan khalifah Usman, yang sudah dibukukan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab, tanah rampasan perang menjadi miliki negara. Tetapi pada masa khalifah Usman bin Affan, tanah tersebut dibagikan. Tujuannya sebenarnya baik, agar tanah tersebut menjadi lebih produktif. Bahkan ia mengangkat juru hitung (Sawafi) untuk mengurusi semua itu. Tetapi karena situasainya tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis kepercayaan dan konflik, maka situasinya jadi berbeda. Masyarakat menolak dan memprotes kebijakan tersebut. Penolakan dan demonstrasi anti Usman ini berujung pada peristwa terbunuhnya khalifah oleh orang tak dikenal.
Meskipun begitu, banyak jasa dan usaha yang dilakukan khalifah Usman bernilai positif. Misalnya, ia membangun angkatan laut, hingga pasukan Islam dapat menyeberangi lautan dan menyeberkan agama Islam ke luar jazirah Arabia. Selain itu, ia juga membangun dan memperbaiki masjid Nabawi, membangun jalan, jembatan, membangun bendungan di kota Madinah agar tidak banjir ketika musim banjir tiba.
4. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sebagai khalifah keempat, tampaknya Ali bin Abi Thalib meneruskan kebijakan yang pernah ditempuh oleh khalifah Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab. Ia menerapkan prinsip-prinsip baitul mal dengan tepat, dan memutuskan untuk mengembalikan semua tanah yang diambilalih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaharaan negara. Begitu juga ia menarik semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas yang diberikan khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani Umayah.
Di samping itu, khalifah Ali mengganti semua gubernur yang diangkat pada masa Usman dan tidak disukai masyarakat. Karena ia berasumsi bahwa, selain karena para gubernur tersebut tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pada 12 Dzulhijjah tahun 35 H. Untuk itu, khalifah Ali meminta agar gubernur Kufah, al-Walid bin Uqbah mengudurkan diri. Begitu juga kepada Mu’awiyah agar meletakkan jabatan gubernur Syria.
Permintaan tersebut ditolak, sehingga timbul kerusuhan dan konflik berkepan-jangan antara khalifah Ali dengan para pejabat gubernur tersebut. Penolakan ini berujung pada sebuah pertempuran diShiffin pada 38 H/657 M. Pertempuran ini memperlemah kekuatan khalifah Ali dan memperkuat posisi Mu’awiyah. Karena pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali dan mereka yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali. Mereka yang masih setia kepada khalifah Ali disebut kelompok Syi’ah atau Syiatu Ali. Sedang mereka yang menyatakan deserse disebut kelompok Khawarij. Kelompok terakhir inilah yang paling gencar melakukan gerakan untuk membunuh khalifah Ali dan Mu’awiyah serta mereka yang terlibat dalam fakta perdamaian ( Tahkim ) di Daumatul Jandal.
Penolakan juga datang dari kubu sahabat Nabi lainnya, seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah. Keributan antara khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil yang dikenal dalam sejarah Islam dengan Waq’ah al-Jamal atau Perang Unta. Konflik ini kalau tidak teratasi dengan baik,akan menimbulkan perang terbuka antara pasukan Ali dengan pasukan Aisyah.