Laman

Selasa, 12 November 2013

KEPEMIMPINAN UMAT ISLAM PASCA NABI MUHAMMAD SAW



A. KONDISI MASYARAKAT SEPENINGGAL RASULULLAH SAW
Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa Muhammad SAW. Selain sebagai rasulullah, juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsinya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi rasul merupakan hak prerogratif Allah, bukan wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya Rasulullah SAW, terjadi kebingungan dikalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhamad, ssungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144.
Surat ali-‘Imran (3) ayat: 144
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad SAW sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad SAW. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.
Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abû Bakar as-Shiddîq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat ‘Umar bin al-Khattâb, ‘Usmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana.
Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial politik, juga masalah-masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah para sahabat rasulullah yang paling dekat, sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup mumpuni.
Meskipun hanya berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, merupakan masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena pada masa ini, terjadi kemajuan yang cukup signifikan dalam banyak hal, terutama dalam bidang sosial politik dan pemerintahan. Pada paruh pertama pemerintahan khalifah Abu Bakar, misalnya, pergolakan sosial terjadi karena munculnya kelompok pembangkang yang terdiri dari para nabi palsu, mereka yang menolak membayar zakat, dan gerakan kaum murtad. Semua itu dapat diselesaikan dengan baik oleh khalifah Abu Bakar.
Keberhasilan khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang terjadi pasca wafatnya Rasululah SAW, membuat suasana politik menjadi terkendali, sehingga ia mampu menjalankan program pengembangan wilayah kekuasaan Islam. Keadaan ini merupakan fondasi besar dalam menciptakan ketenangan dan keda-maian di masa-masa sesudahnya, sehingga Islam dapat bertahan hingga kini.

B. SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
Persoalan pertama yang muncul ke permukaan setelah Nabi Muhamamd SAW wafat, adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah SAW menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi peggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Bahkan dalam menjalankan sistem pemerintahan, Rasululah menyerahkannya kepada umat Islam. Tetapi, ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi dalam bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah atau syura. Prinsip ini sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip musyawarah ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pemimpin Islam, yaitu Khulafaur Rasyidin.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai dengan sistem perundingan yang dipergunakan dalam jaman modern se-perti sekarang ini. Kaum Anshar, menekankan pada persyaratan jasa yang mereka telah berikan bagi umat Islam dan pengembangan Islam. Karena itu, mereka mengajukan calon sebagai kandidat pemimpin, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum Muhajirin menekankan pada aspek kesetian dan perjuangan dalam masa-masa awal pengembangan Islam di Makkah hingga Madinah. Untuk itu, mereka mengajukan nama calon, yaitu Abu Ubaidah bin Jarah. Sedang Ahl al-bait, menghendaki agar Ali bin Abi Thalib dicalonkan sebagai khalifah. Pengajuan nama Ali bin Abi Thalib dalam permusyawaratan tersebut didasari atas jasa, kedudukan dan statusnya sebagai anak angkat sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Perdebatan siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhamad SAW sebagai kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam, antara Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi untuk menduduki jabatan khalifah.
Selesai terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu antara lain adalah“ ...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai khalifah. Meskipun saya bukan yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila berada dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di jalan yang salah". Lalu pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku sebagaimaa aku mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, jangan sekali-kali kalian mematuhi aku“.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, la tidak gila jabatan dan juga tidak gila kedudukan, jabatan dan harta.
Sementara Umar bin al-Khattab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui secara aklamasi oleh umat Islam. Proses pengangkatan ini diawali dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta Umar bin al-Khattab bersedia menggantikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia. Ijthad ini didasari atas kenyataan dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan khalifah, yaitu timbulnya krisis politik dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal umat Islam, jika tidak segara diselesaikan oleh Umar bin al-Khattab dan Abu Bakar al-Shiddieq. Berdasarkan pengalaman sejarah ini, maka khalifah Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi penggantinya. Permintaan ini pun disetujui oleh Umar, hanya Umar meminta agar persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, agar tidak terjadi salah paham. Permintaan itu dipenuhi, untuk itu kemudian Abu Bakar meminta pendapat para sahabat mengenai pilihannya itu, ketika mereka menjenguknya pada saat khalifah Abu Bakar terbaring sakit di tempat tidur. Pilihan itu pun disetujui oleh para pemuka masyarakat, Kemudian Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu, kemudian ia membai’at Umar bin al-Khattab. Beberapa hari kemudian, Abu Bakar al-Shiddiq meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M.
Sedang ‘Usmân bin ‘Affân dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang sahabat. Dewan ini dibentuk khalifah Umar bin al-Khattab ketika khalifah sedang sakit. Prosedur ini ditempuh guna memaksimalkan potensi yang ada di masing-masing sahabat, selain masih tetap mempertahankan prinsip syura, yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Hanya modelnya yang berbeda dibanding dengan model pemilihan masa-masa sebelumnya. Pemilihan melalui Dewan Enam ini, diharapkan menghasilkan calon pemimpin handal yang mampu menjalankan amanah demi penegakkan Islam dan pengembangannya ke luar jazirah Arabia.
Seperti ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin al-Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui Dewan. Dewan ini dibentuk ketika khalifah Umar ibn al-Khattab sakit. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari ‘Usmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwâm, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf, dan Sa'ad bin Abî Waqqâsh. Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan menggantikannya sebagai khalifah.‘Abdurrahmân bin ‘Aûf dipercayakan menjadi ketua panitia pemilihan tersebut.
Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan harus didasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses pemilihan tersebut salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka dialah yang berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila terdapat suara seimbang, maka keputusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang menjadi hakimnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar.
Setelah ‘Umar bin al-Khattâb meninggal dunia, maka ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan. Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mendengarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai lapisan masyarakat, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu disebabkan karena Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat menginginkan ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf cenderung kepada ‘Usmân ibn ‘Affân, sementara Sa'ad ibn Abi Waqqash menginginkan ‘Alî bin Abi Thâlib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapatnya. Keempat, baik ‘Usmân ibn ‘Affân maupun ‘Alî bin Abî Thâlib, masing-masing memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Demikialah problem yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khalifah. Namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan ‘Usmân bin ‘Affân terpilih sebagai khlifah dengan perolehan 4 suara, sedang ‘Alî bin Abi Thâlib, memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa ‘Usmân bin ‘Affân ke kursi kekuasaan. Untuk itu, kemudian ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mengangkat tangan ‘Usmân bin ‘Affân sebagai tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu ‘Umar ibn al-Khattâb.
Ketika terpilih sebagai khalifah, ‘Usmân bin ‘Affân telah berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan penuh bijaksana. Namun para sahabatnya banyak yang memanfaatkan situasi ini untuk memperoleh keuntungan kolompoknya, seperti Bani Umayah dan para kerabatnya. ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah selama 12 tahun.
Sementara itu, tampilnya ‘Alî bin Abi Thâlib ke pucuk pimpinan, ketika negara tengah mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya khalifah ‘Usmân bin ‘Affân oleh para pemberontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya. ‘Alî bin Abi Thâlib diangkat oleh jama’ah umat Islam dan sebagian besar adalah para pemberontak. Dalam situasi seperti itu, haraus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun ketika itu yang mau diangkat menjadi khalifah, selagi ‘Alî bin Abi Thâlib masih hidup.
C. BERBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KHULAFAUR-RASYIDIN.
1. Kebijakan khalifah Abu Bakar al-Shiddieq.
Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, banyak kebijakan yang dikeluarkan. kebijakan-kebijakan tersebut semuanya bermuara pada upaya pengembangan peradaban Islam dan mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
Pada masa awal kepemimpinan khalifah Abu Bakar, situasi sosial politik dan keagaman sangat tidak kondusif bagi pengembangan wilayah kekuasaan Islam, karena pada saat itu banyak persoalan yang dihadapi khalifah. Di antara kebijakan yang dikeluarkan pada masa itu adalah memberantas kaum murtad (kaum riddah), pemberantasan kaum munafik, dan para nabi palsu.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi persoalan politik keagamaan, terutama penentangan dari kaum murtad (kaum riddah), memberantas nabi palsu, dan mereka yang enggan membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah Abu Bakar melakukan musyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Meski terjadi perbedaan pendapat mengenai tindakan apa yang harus dilakukan, ia tetap tegar, bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau gugur sebagai syahid dalam menegakkan dan memperjuangkan kemuliaan agama Islam.
Ketegasan khalifah Abu Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir seluruh umat Islam. Untuk memerangi masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan. Ada langkah strategis yang dilakukan khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu pengiriman surat. Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada meraka dan mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha tersebut tidak mendapat respons positif, bahkan mereka malah menun-jukan penentangannya. Berdasarkan ini, maka khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk memerangi mereka. Usaha ini berhasil gemilang. Kebijakan tersebut dilakukan bertujuan agar tercipta suasana yang aman, bersatunya kembali umat Islam dibawah sistem pemerintahan khalifah. Lebih dari itu semua, demi tegaknya keadilan. Hal lain yang dilakukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai sekretaris negara, selain Umar bi al-Khattab dan Ubaidillah bin Jarrah.
Selama masa pemerintahnnya yang berangsung lebih kurang 2 tahun 3 bulan, banyak hal yang talah dilakukannya. Hal terpenting lainnya yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah memberikan perlindungan kepada mustad’afin¸ kaum yang lemah dari kesewenang-wenangan. Dalam masalah ini, ia akan bertindak adil. Siapapun yang melakukan kesewenangan akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain mengatasi krisis keimanan dengan munculnya kaum murtad, khalifah Abu Bakar juga melakukan pengamanan dalam masalah kaum munafik. Ia memandang bahwa gerakan kaum munafik merupakan sebuah gerakan yang sangat berbahaya, karena hampir di seluruh penjuru Arabia muncul gerakan semacam ini. Meskipun begitu tanpa rasa gentar sedikitpun, Abu Bakar menyusun kekuatan untuk menumpas gerakan tersebut dengan semangat perjuangan penegakkan Islam. Dalam waktu satu tahun Abu Bakar berhasil mengembalikan stabititas politik pemerintahan Islam.
Untuk mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok tersebut, Abu Bakar menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batalyon untuk dikirim ke berbagai daerah pemberontakan. Kepada masing-masing komandan bantalyon, Abu Bakar menyampaikan instruksi mengajak mereka yang terlibat dalam pemberontakan agar kembali kepada ajaran Islam. Apabila mereka menolak ajakan tersebut, maka mereka boleh diperangi sampai habis.
Sebagian mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran Islam tanpa peperangan, namun sebagian besar mereka bertahan pada sikapnya melawan Islam, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan. Khalid ibn al-Walid meru-pakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi Thulaihah dalam peperangan Buzaka. Khalid berhasil mengalahkan mereka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhirnya menerima kembali ajakan untuk memeluk Islam, termasuk suku Bani As'ad. Gerakan para nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid ibn al-Walid, setetah Ikrimah dan Syurahbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah al-Kazaab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M. Musailamah dan ribuan pasukannya tewas mengenaskan di dalam benteng pertahanan mereka.
Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua diantaranya tewas terbunuh dalam peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh lainnya, yaitu Saj'ah dan Thulaihah selamat dan kembali kepada ajaran Islam. Keberhasilan Abu Bakar dan pasukannnya dalam memberantas para pembangkan, selain memperkokoh identitas Islam,  juga membuka gerbang kejayaan Islam di masa-masa selanjutnya. Kemenangan pasukan Islam dalam meredam gejolak dalam negeri menimbulkan semangat diri dan kepercayaan diri untuk melanjutkan ekspansi ke wilayah Byzantium dan Sasania.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan pemberontak, pada tahun 633 Abu Bakar memerintahkan Khalid ibn al-Walid untuk menaklukkan wilayah-wilayah perbatasan Syria dan la berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Islam hingga ke berbagai tempat bekas kekuasaan Persia dan Byzantium.


2. Kebijakan khalifah Umar bin al-Khattab
Periode Umar bin al-Khattab boleh dibilang periode yang cukup aman dan tentram. Tidak banyak pemberontakan yang terjadi. Bahkan dalam catatan sejarah Islam, periode kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab disebut sebagai masa yang cukup makmur, aman dan damai. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan untuk membangun sistem pemetintahan negara, agar lebih efektif dan efisien, sehingga hasil pembanguan dapat dirasakan secara merata ke segenap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Ada dua arah kebijaan yang dilakaukan khalifah Umar bin al-Khattab. Pertama, kebijakan internal, yaitu membangun sistem pemetintahan dalam negeri dengan membentuk departemen-departemen yang menangani masalah-masalah sosial politik dan sebagainya. Kedua, kebijakan eksternal, yaitu dengan usaha memperluas wilayah penyebaran Islam ke luar jazirah Arabia.
Pembentukan beberapa departeman, merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindai lagi, karena wilayah kekuasaan Islam telah mencapai Mesir dan beberapa wilayah lainnya di Jazirah Arabia. Untuk mempermudah sistem ketatanegaraan dan pelayanan, maka dibentuklah departemen-departemen tersebut. Model ini diadopsi dari sistem pemerintahan Persia.
Tugas utama lembaga ini adalah menyampaikan perintah khalifah ke beberapa daerah atau wilayah yang jauh dari Madinah. Untuk melancarkan hubungan antar daerah, wilayah negara dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufha, Palestina, dan Mesir. Masing-masing propinsi berada di bawah kekuasaan seorang gubernur, seperti Kufah berada di bawah kekuasaan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Basrah di bawah kekuaaaan 'Athbah ibn Khazuan, dan Fusthath di bawah kekuasaan 'Amr ibn al-‘Ash.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar juga mulai ditertibkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Berkaitan dengan masalah perpajakan, khalifah Umar bin al-Khattab membagi warga negara menjadi dua bagian; pertama, masyarakat muslim, dan kedua, masyarakat non-muslim, yang disebut alh al-dzimmi, atau warganegara non muslim yang mendapat pelindungan (suaka) negara. Untuk warga negara muslim, mereka wajib bayar zakat. Sedangn non muslim, mereka dikenalan jizyah (pajak perorangan), dan kharraj, pajak tanah. Sementara untuk masalah hukum, khalifah menerapkan peraturan yang berbeda. Bagi muslim, diberlakukan hukum Islam. Sedang non muslim diberlakukan hukum menurut agama atau adat istiadat mereka masing-masing.
Untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan, kahlifah Umar bin al-Khattab mengubah sistem sentralisisasi menjadi desentralisasi. Untuk menjaga keamanan, khalifah juga membentuk jawatan kepolisian atau diwan al-syurthah, dan jawatan pekerjaan umum. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah Umar bin al-Khattab lembaga keuangan yang disebut Baitul Mal. Sejak masa itu, pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab telah memiliki mata uang sendiri.
Kebiajakan lain yang sangat monumental adalah penetapan tahun hijriyah sebagai tahun baru umat Islam. Penetapan tahun baru umat Islam ini atas inisiatif Alî bin Abî Thâlib, yang kemudian direspon oleh khalifah ‘Umar bin al-Khâttab.
Dalam usaha penetapan itu terjadi diskusi antara tokoh umat Islam, antara lain Alî bin Abî Thâlib. Ada yang mengusulkan penetapan tahun baru umat Islam didasari atas sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW, atau hijrah Madinah. Alî bin Abî Thâlib mengusulkan agar penetapan tahun baru umat Islam didasari atas peristiwa hijrah Nabi dan umat Islam ke Madinah. Usulan inilah yang kemudian diterima khalifah Umar bin al-Khattab dan kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai tahun baru umat Islam, yaitu pada tahun 622 M/ 1 H.
3. Kebijakan Khalifah Usman bin Affan
Situasi ini sangat berbeda pada masa pemerintahan khalifah ‘Usmân bin Affân. Pada paruh pertama kepemimpinannya, negara berada dalam keadaan aman, damai, tenteram dan sejahtera. Karena situasinya sangat mendukung bagi usaha melanjutkan program pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab. Tetapi pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini timbul karena ada sekelompok orang yang terdiri dari keluarga dekatnya yang memanfaatkan posisi Usman bin Affan. Hal ini kurang disadari khalifah Usman, sehingga banyak kroni dan orang-orang terdekatnya memanfaatkan ketulusan dan kejujuran khalifah.
Dalam beberapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang kurang populer, misalnya mengangkat para pejabat negara, seperti gubernur dari keluarganya sendiri. Khalifah Usman mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai Sekretaris Negara, al-Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah, menggantikan posisi Sa’ad. Al-Walid bin Uqbah adalah saudaranya yang suka mabuk-mabukan. Selain itu, ia juga menempatkan sepupunya, Abdullah bin Sa’ad, sebagai gubernu Mesir, menggantikan posisi ‘Amr bin al-‘Ash. Kebijakan ini menuai protes keras dari masyarakat Kufah dan Mesir, serta para pendukung ‘Amr bin al-‘Ash. Kebikajakan lain yang mengenai protes masyarakat adalah kebijakan satu mushaf, dan menghapus mushaf-mushaf lain yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu menyamakan seluruh mushaf dengan mushaf yang ada di tangan khalifah Usman, yang sudah dibukukan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab, tanah rampasan perang menjadi miliki negara. Tetapi pada masa khalifah Usman bin Affan, tanah tersebut dibagikan. Tujuannya sebenarnya baik, agar tanah tersebut menjadi lebih produktif. Bahkan ia mengangkat juru hitung (Sawafi) untuk mengurusi semua itu. Tetapi karena situasainya tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis kepercayaan dan konflik, maka situasinya jadi berbeda. Masyarakat menolak dan memprotes kebijakan tersebut. Penolakan dan demonstrasi anti Usman ini berujung pada peristwa terbunuhnya khalifah oleh orang tak dikenal.
Meskipun begitu, banyak jasa dan usaha yang dilakukan khalifah Usman bernilai positif. Misalnya, ia membangun angkatan laut, hingga pasukan Islam dapat menyeberangi lautan dan menyeberkan agama Islam ke luar jazirah Arabia. Selain itu, ia juga membangun dan memperbaiki masjid Nabawi, membangun jalan, jembatan, membangun bendungan di kota Madinah agar tidak banjir ketika musim banjir tiba.
4. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sebagai khalifah keempat, tampaknya Ali bin Abi Thalib meneruskan kebijakan yang pernah ditempuh oleh khalifah Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab. Ia menerapkan prinsip-prinsip baitul mal dengan tepat, dan memutuskan untuk mengembalikan semua tanah yang diambilalih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaharaan negara. Begitu juga ia menarik semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas yang diberikan khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani Umayah.
Di samping itu, khalifah Ali mengganti semua gubernur yang diangkat pada masa Usman dan tidak disukai masyarakat. Karena ia berasumsi bahwa, selain karena para gubernur tersebut tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pada 12 Dzulhijjah tahun 35 H. Untuk itu, khalifah Ali meminta agar gubernur Kufah, al-Walid bin Uqbah mengudurkan diri. Begitu juga kepada Mu’awiyah agar meletakkan jabatan gubernur Syria.
Permintaan tersebut ditolak, sehingga timbul kerusuhan dan konflik berkepan-jangan antara khalifah Ali dengan para pejabat gubernur tersebut. Penolakan ini berujung pada sebuah pertempuran diShiffin pada 38 H/657 M. Pertempuran ini memperlemah kekuatan khalifah Ali dan memperkuat posisi Mu’awiyah. Karena pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali dan mereka yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali. Mereka yang masih setia kepada khalifah Ali disebut kelompok Syi’ah atau Syiatu Ali. Sedang mereka yang menyatakan deserse disebut kelompok Khawarij. Kelompok terakhir inilah yang paling gencar melakukan gerakan untuk membunuh khalifah Ali dan Mu’awiyah serta mereka yang terlibat dalam fakta perdamaian ( Tahkim ) di Daumatul Jandal.
Penolakan juga datang dari kubu sahabat Nabi lainnya, seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah. Keributan antara khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil yang dikenal dalam sejarah Islam dengan Waq’ah al-Jamal atau Perang Unta. Konflik ini kalau tidak teratasi dengan baik,akan menimbulkan perang terbuka antara pasukan Ali dengan pasukan Aisyah.


Kamis, 30 Mei 2013

MENJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN

A. Pendayagunaan Sumber Alam

 أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاء لَجَعَلَهُ سَاكِناً ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلا

045. (Apakah kamu tidak memperhatikan) yakni tidak melihat (kepada) ciptaan (Rabbmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang) mulai dari tenggelamnya matahari sampai dengan hendak terbitnya (dan kalau Dia menghendaki) yakni Rabbmu (niscaya Dia menjadikan bayang-bayang itu tetap) artinya tidak hilang sekalipun matahari terbit (kemudian Kami jadikan matahari atasnya) yakni bayang-bayang atau gelap itu (sebagai petunjuk) karena seandainya tidak ada matahari maka niscaya bayang-bayang atau gelap itu tidak akan dikenal.


 ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضاً يَسِيراً

046. (Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu) yakni bayang-bayang yang memanjang itu (kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan), yaitu dengan terbitnya matahari.
 وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاساً وَالنَّوْمَ سُبَاتاً وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورا

047. (Dialah yang menjadikan untuk kalian malam sebagai pakaian) yakni yang menutupi bagaikan pakaian (dan tidur untuk istirahat) bagi tubuh setelah selesai dari bekerja (dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha) kalian bangun di waktu itu untuk mencari rezeki dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.

 وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورا

048. (Dialah yang meniupkan angin) menurut qiraat yang lain lafal Ar-Riih dibaca Ar-Riyah (pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya) yakni dekat sebelum hujan. Lafal Nusyuran menurut suatu qiraat dibaca Nusyran, artinya secara terpisah-pisah yakni dibaca secara Takhfif supaya ringan bacaannya. Menurut qiraat yang lain dibaca Nasyran karena dianggap sebagai Mashdar. Menurut qiraat lainnya lagi dibaca Busyra, artinya sebagai pembawa kabar gembira. Bentuk tunggal bacaan pertama adalah Nusyurun, wazannya sama dengan lafal Rasulun yang bentuk jamaknya adalah Rusulun. Sedangkan bentuk tunggal dari bacaan yang kedua yaitu Busyran ialah Basyirun, artinya pembawa kabar gembira (dan Kami turunkan dan langit air yang amat bersih) yaitu air yang dapat dipakai untuk bersuci, atau air yang menyucikan.


 لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَّيْتاً وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَاماً وَأَنَاسِيَّ كَثِيرا

049. (Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri atau tanah yang mati) lafal Maitan dibaca Takhfif bentuk Mudzakkar dan Muannatsnya sama saja. Disebutkan dengan maksud, bahwa yang mati itu adalah tanah negeri itu (dan agar Kami memberi minum dengannya) dengan air itu (sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak) unta, sapi dan kambing (dan manusia yang banyak) lafal Anaasiyyu merupakan bentuk jamak dari lafal Insaanun, bentuk asalnya adalah Anaasiinu, kemudian huruf Nun diganti menjadi Ya, lalu huruf Ya yang pertama diidgamkan kepadanya sehingga jadilah Anaasiyyu. Atau lafal Anaasiyyu ini adalah bentuk jamak dari lafal Insiyyun.


 وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورا

050. (Dan sesungguhnya Kami telah menggilirnya) yakni air hujan itu (di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran daripadanya) Yadzdzakkaruu asalnya Yatadzakkaruu, kemudian huruf Ta diidgamkan kepada huruf Dzal setelah terlebih dahulu diganti menjadi Dzal pula, sehingga jadilah Yadzdzakkaruu. Menurut suatu qiraat dibaca Liyadzkuruu, sehingga artinya menjadi: supaya mereka ingat akan nikmat Allah dengan adanya air tersebut (maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari) nikmat Allah, karena mereka mengatakan bahwa hujan kita ini disebabkan munculnya bintang anu.


Salah satu aspek mendasar yang sekarang harus dikembangkan secara mendasar adalah bagaimana manusia membangun relasi yang baik dengan lingkungan alam. Di dalam konsepsi Islam dikenal ada konsep Hablun minallah, hablun minannas dan hablun minal alam. Dua konsep yang pertama dan kedua sudah sangat dikenal, yaitu menyambung tali hubungan dengan Allah dan kedua menyambung tali hubungan dengan sesama manusia.  Akan tetapi konsep yang ketiga, menyambung tali relasi dengan alam masih merupakan konsep baru yang memang perlu ditingkatkan relevansinya bagi kehidupan manusia.

Memang dikenal ada yang disebut sebagai kesalehan ritual, yaitu perilaku manusia yang selalu memiliki relasi dengan Tuhan melalui serangkaian upacara yang dianggap penting, misalnya melaksanakan shalat, zakat, puasa dan ibadah-ibadah lain yang dianggap sebagai bagian dari relasi antara manusia dengan Tuhan. Dan kemudian juga manusia membangun relasi dengan sesama manusia yang sesungguhnya merupakan kebutuhannya. Akan tetapi manusia juga harus membangun relasi yang baik dengan alam sebagai bagian dari kehidupan manusia yang memang berada di alam ini.
Terkait dengan hablun minallah, hablun minannas  dan hablun minal alam ini, maka didapatkan suatu proposisi bahwa ada kalanya orang sangat baik dalam tampilan relasinya dengan Allah, sehingga seakan-akan tidak celah kejelekannya di dalam bangunan relasi tersebut. Selain itu bangunan relasi dengan sesama manusia juga sangat baik, sehingga secara proposisional lalu bisa dinyatakan saleh ritual dan saleh social.
Akan tetapi terkadang juga ada yang lain, yaitu amalan di dalam relasi dengan Tuhan sangat baik, akan tetapi relasi dengan sesama manusia kurang baik bahkan jelek. Maka yang seperti ini disebut, saleh ritual akan tetapi tidak saleh social. Shalatnya baik akan tetapi relasinya dengan sesama manusia kurang baik. Performance shalatnya bagus, akan tetapi dia kikir dalam menghadapi kaum mustadhafin. Demikian seterusnya.
Jadi, pembicaraan kita masih berada di seputar saleh ritual dan saleh social dan belum kepada persoalan saleh lingkungan. Melalui konsepsi saleh lingkungan ini, sesungguhnya ada dimensi yang penting untuk dikedepankan adalah bagaimana membangun relasi dengan lingkungan alam yang ramah terhadap manusia karena keramahan manusia terhadapnya.
Kita dewasa ini sedang menghadapi tantangan lingkungan yang luar biasa. Diantaranya adalah perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.  Alam yang kita huni tidak akan selamanya seperti ini. Tidak selamanya terdapat tanaman yang hijau, daun pepohonan yang rindang, sungai yang mengalirkan air yang jernih, sumber air yang melimpah, sumber daya alam yang sangat banyak, air laut yang menghidupi dan menjadi sember ekonomi dan sebagainya. Akan tetapi suatu saat akan menjadi sebaliknya. Alam bisa menjadi kering kerontang, air yang menyusut, air yang terkena polutan, sumber daya alam yang terkuras dan sebagainya.
Makanya, harus ada upaya agar alam yang disediakan oleh Allah ini menjadi lestari dan bersahabat dengan manusia. Makanya ada dua cara yang bias dianggap sebagai strategi ke depan menghadapi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, yaitu melalui paradigm pencegahan.
Di dalam paradigm pencegahan maka yang diperlukan adalah melalukan pembangunan berkelanjutan dan pemerintahan yang baik atau sustainable development dan good governance. Di dalam kepentingan ini, maka harus dikurangi atau ndihentikan sumber dan aktivitas cemaran, misalnya produksi cemaran (pollutan) karbon/gas berlebihan, perusakan hutan (deforestrasi), dan aktivitas kehidupan yang tidak ramah lingkungan.
Untuk mencapai hal ini, maka diperlukan komitmen stakeholder, yaitu komitmen terhadap pelaksanaan pembangunan yang ramah lingkungan dan perbaikan lingkungan dengan pengembangan industry, bahan bakar, pertanian, perdagangan, gaya hidup nyang ramah laingkungan  yang mengedepankan tentang pelestarian lingkungan.
Melalui komitmen stakeholder tentang pelaksanaan pembangunan ramah lingkungan dan perbaikan lingkungan maka akan didapatkan keberhasilan pembangunan yang menyeluruh. Tidak hanya secara ekonomi sejahtera akan tetapi juga lingkungannya menjadi serasi, selaras dan seimbang sebagai implementasi hablun minal alam.
Dengan demikian, keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari seberapa peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, akan tetapi juga bagaimana masyarakat mengelola lingkungan alamnya.  Jadi memelihara dan mengembangkan lingkungan yang tidak mencederainya, adalah tugas kekhalifahan manusia yang juga utama.

B. Perusakan Alam Perbuatan Munafik

 وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَام

 204. (Di antara manusia ada seorang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu) tetapi sebaliknya tidak demikian halnya tentang kehidupan akhirat karena berbeda dengan pandangan dan keyakinannya (dan dipersaksikannya kepada Allah atas isi hatinya) bahwa itu benar-benar cocok dengan apa yang diucapkannya (padahal ia adalah musuh yang paling keras) baik bagimu maupun bagi pengikut-pengikutmu disebabkan permusuhannya denganmu itu. Orang ini namanya Akhnas bin Syuraiq, seorang munafik yang manis mulut terhadap Nabi saw. Ia bersumpah bahwa ia seorang mukmin dan cinta kepada Nabi saw. lalu mendekati majelisnya. Maka kepalsuannya ini dibukakan Allah dan suatu waktu ia pernah lewat di pertanian dan peternakan seorang sahabat, maka dibakarnya tanaman dan disembelihnya hewan-hewan milik sahabat itu di waktu malam, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah swt.:



 وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيِهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الفَسَاد

205. (Dan apabila ia berpaling) dari hadapanmu (ia berjalan di muka bumi untuk membuat kerusakan padanya dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak) untuk menyebut beberapa macam kerusakan itu (sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan), artinya tidak rida padanya.



 وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَاد

206. (Dan jika dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kamu kepada Allah) dalam perbuatan-perbuatanmu, (bangkitlah kesombongannya) yang menyebabkan berbuat (dosa) yang disuruh menghindarinya. (Maka cukuplah baginya neraka Jahanam dan sungguh ia seburuk-buruk tempat tinggal).


C. Larangan Membuat Kerusakan

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين

056. (Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi) dengan melakukan kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan maksiat (sesudah Allah memperbaikinya) dengan cara mengutus rasul-rasul (dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut) terhadap siksaan-Nya (dan dengan penuh harap) terhadap rahmat-Nya. (Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik) yakni orang-orang yang taat. Lafal qariib berbentuk mudzakkar padahal menjadi khabar lafal rahmah yang muannats, hal ini karena lafal rahmah dimudhafkan kepada lafal Allah.
 وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَاباً ثِقَالاً سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاء فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْموْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون

057. (Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya) yakni terpencar-pencar sebelum datangnya hujan. Menurut suatu qiraat dibaca dengan takhfif, yaitu syin disukunkan; dan menurut qiraat lainnya dengan disukunkan syinnya kemudian memakai nun yang difatahkan sebagai mashdar. Menurut qiraat lainnya lagi dengan disukunkan syinnya kemudian didamahkan huruf sebelumnya sebagai pengganti dari nun, yakni mubsyiran. Bentuk tunggal dari yang pertama ialah nusyuurun seperti lafal rasuulun, sedangkan bentuk tunggal yang kedua ialah basyiirun (sehingga apabila angin itu membawa) maksudnya meniupkan (mendung yang tebal) yaitu hujan (Kami halau mendung itu) mega yang mengandung air hujan itu. Di dalam lafal ini terkandung makna iltifat `anil ghaibiyyah (ke suatu daerah yang tandus) daerah yang tidak ada tetumbuhannya guna menyuburkannya (lalu Kami turunkan di daerah itu) di kawasan tersebut (hujan, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah) cara pengeluaran itulah (Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati) dari kuburan mereka dengan menghidupkan mereka kembali (mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran) kemudian kamu mau beriman.
 وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُون

058. (Dan tanah yang baik) yang subur tanahnya (tanaman-tanamannya tumbuh subur) tumbuh dengan baik (dengan seizin Tuhannya) hal ini merupakan perumpamaan bagi orang mukmin yang mau mendengar petuah/nasihat kemudian ia mengambil manfaat dari nasihat itu (dan tanah yang tidak subur) jelek tanahnya (tidaklah mengeluarkan) tanamannya (kecuali tumbuh merana) sulit dan susah tumbuhnya. Hal ini merupakan perumpamaan bagi orang yang kafir. (Demikianlah) seperti apa yang telah Kami jelaskan (Kami menjelaskan) menerangkan (ayat-ayat Kami kepada orang-orang yang bersyukur) terhadap Allah, kemudian mereka mau beriman kepada-Nya.
   
Kebanyakan manusia yang hidup di jaman sekarang ini, menjadikan barometer dalam menilai hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan perkara-perkara lahir yang nampak dalam pandangan mereka, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.
Mereka lalai dari memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara yang gaib (tidak nampak) dan lupa pada kehidupan abadi di akhirat nanti.
Allah Ta’ala berfirman:
{يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ}
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS ar-Ruum:7).
Sebagai contoh nyata dalam hal ini, memahami arti “kerusakan di muka bumi” yang sebenarnya. Sementara ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum muslimin, yang mengartikan “kerusakan di muka bumi” hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengrusakan hutan, tersebarnya penyakit menular dan lain sebagainya.
Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata, padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya, bahkan kerusakan inilah yang menjadi sebab terjadinya kerusakan-kerusakan “lahir” di atas.
Arti “kerusakan di muka bumi” yang sebenarnya
Allah Ta’ala berfirman,
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.
Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi[2] berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”[3].
Imam asy-Syaukaani ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwaperbuatan syirk dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[4].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[5].
Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti tidak rukunnya hubungan antara suami dan istri, serta seringnya terjadi pertengkaran di antara mereka, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.
Inilah makna yang diisyaratkan dalam ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”[6].
Oleh sebab itu, Allah menamakan orang-orang munafik sebagai “orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi (dinamakan) “berbuat kerusakan” karena perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, karena terkena penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. Demikian juga karena melakukan perbaikan di muka bumi adalah dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allah, yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka, agar mereka menjadikan (nikmat tersebut) sebagai penolong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah (maksiat) berarti mereka telah mengusahakan (sesuatu yang menyebabkan) kerusakan dan kehancuran di muka bumi” [7].
Maka kematian orang-orang pelaku maksiat merupakan sebab utama berkurangnya kerusakan di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Kematian) seorang hamba yang fajir(banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terselamatkan dari kerusakan karena perbuatan maksiatnya)”[8].

Syirik dan bid’ah sebab terbesar kerusakan di muka bumi
Dikarenakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allah, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.
Imam Qatadah[9] dan as-Suddi berkata, “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar” [10].
Demikian juga perbuatan bid’ah[11] dan semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah r, pada hakekatnya merupakan sebab terbesar terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi.
Oleh karena itu, imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi[12] ketika ditanya tentang makna firman AllahTa’ala,
{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”.
Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallammaka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”[13].
Cara mengatasi dan memperbaiki kerusakan di muka bumi
Karena sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut adalah dengan bertobat dengan taubat yang nasuh[14] dan kembali kepada Allah. Karena taubat yang nasuh akan menghilangkan semua pengaruh buruk perbuatan dosa yang pernah dilakuakan.
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosanya, adalah seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali)”[15].
Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala di atas,
{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
…supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Artinya: agar mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka” [16].
Dalam hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anha pernah mengucapkan dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”[17].
Maka kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya[18], untuk kebaikan dan kemaslahan hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[19] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[20].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون}
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf:96).
Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah I lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [21].
Oleh karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang sebenarnya adalahorang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.
Mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[22].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosa baginya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan…”[23].
Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan besar dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia, yang ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.
Dalam hal ini, imam al-Hasan al-Bashri[24] pernah berkata: “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti”[25].

D. Kerusakan Alam Akibat Perbuatan Manusia
QS. Ar-rum : 41-42
 ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون


041. (Telah tampak kerusakan di darat) disebabkan terhentinya hujan dan menipisnya tumbuh-tumbuhan (dan di laut) maksudnya di negeri-negeri yang banyak sungainya menjadi kering (disebabkan perbuatan tangan manusia) berupa perbuatan-perbuatan maksiat (supaya Allah merasakan kepada mereka) dapat dibaca liyudziiqahum dan linudziiqahum; kalau dibaca linudziiqahum artinya supaya Kami merasakan kepada mereka (sebagian dari akibat perbuatan mereka) sebagai hukumannya (agar mereka kembali) supaya mereka bertobat dari perbuatan-perbuatan maksiat.


 قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُم مُّشْرِكِين

042. (Katakanlah) kepada orang-orang kafir Mekah: ("Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah.") Yaitu mereka dibinasakan disebabkan kemusyrikan mereka, rumah-rumah dan tempat-tempat mereka kini kosong tak berpenghuni lagi karena penghuninya telah binasa.


Terjemahan surah Ar-Rum ayat 41-42
41.  Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
42.  Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
Isi kandungan surah Ar-Rum ayat 41-42
Pengertian menjaga kelestarian lingkungan hidup
menurut kamus besar bahasa indonesia, kata lestari artinya tetap selama-lamanya, kekal, tidak berubah sebagai sediakala, melestarikan; menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah dan serasi : cocok, sesuai, berdasarkan kamus ini melestarikan, keserasian, dan keseimbangan lingkungan berarti membuat tetap tidak berubah atau keserasian dan keseimbangan lingkungan
Menurut Prof.Dr.Otto Soemarwoto, Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Menurut UU No.4 Tahun 1982 tentang pokok-pokok pengelolaan Lingkungan Hidup, jumto UU No. 23 Tahun 1997, Pasal I bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
Menurut Prof. Dr. Emil Salim Lingkungan Hidup adalah segala benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal-hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.
pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
.
Contoh perbuatan menjaga kelestarian lingkungan hidup
a)      Pencegahan masalah air dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran, pengamanan pintu-pintu air, pengunaan air tidak boros. Hutan-hutan disekitar sungai, danau, mata air dan rawa perlu diamankan. upaya untuk mengurangi pencemaran sungai diantaranya melalui program kali bersih (prokasih) terhadap sungai-sungai yang telah tercemar.
b)      Mencegah cara ladang berpindah / Perladangan Berpindah-pindah.Terkadang para petani tidak mau pusing mengenai kesuburan tanah. Mereka akan mencari lahan pertanian baru ketika tanah yang ditanami sudah tidak subur lagi tanpa adanya tanggung jawab membiarkan ladang terbengkalai dan tandus. Sebaiknya lahan pertanian dibuat menetap dengan menggunakan pupuk untuk menyuburkan tanah yang sudah tidak produktif lagi.
c)      Contoh perbuatan yang paling sederhana dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup, yaitu dengan selalu nembuang sampah pada tempatnya, dan tidak membuangnya sembarangan. Karena perbuatan membuang sampah sembarangan ini, dapat menyebabkan banjir. Karena banjir bisa terjadi akibat tertutupnya saluran-saluran air, sehingga air hujan atau air lainnya, tidak dapat mengalir dengan lancar.
Tafsir surah ar-rum 41-42
Pada ayat 41 surah ar-rum, terdapat penegasan Allah bahwa berbagai kerusakan yang terjadi di daratan dan di lautan adalah akibat perbuatan manusia. Hal tersebut hendaknya disadari oleh umat manusia dan karenanya manusia harus segera menghentikan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan timbulnya kerusakan di daratan dan di lautan dan menggantinya dengan perbuatan baik dan bermanfaat untuk kelestarian alam. (syamsuri, 2004: 116)
Kata zhahara pada mulanya berarti terjadinya sesuatu dipermukaan bumi. Sehingga, karena dia dipermukaan, maka menjadi nampak dan terang serta diketahui dengan jelas. Sedangkan kata al-fasad menurut al-ashfahani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan,baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani, jiwa, maupun hal-hal lain.(quraish shihab, 2005: 76)
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini dapat berarti daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, yang hasilnya keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Inilah yang mengantar sementara ulama kontemporer memahami ayat ini sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan.( quraish shihab, 2005: 77)
Sedangkan pada ayat 42 surah ar-rum pula, menerangkan tentang perintah untuk mempelajari sejarah umat-umat terdahulu. Berbagai bencana yang menimpa umat-umat terdahulu adalah disebabkan perbuatan dan kemusyrikan mereka, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Allah, justru kepada selain Allah dan hawa nafsu mereka.( syamsuri, 2004: 116). Selain itu pula, ayat ini mengingatkan mereka pada akhir perjalanan ini bahwa mereka dapat mengalami apa yang dialami oleh orang-orang musyrik sebelum mereka. Mereka pun mengetahui akibat yang diterima oleh banyak orang dari mereka. Mereka juga melihat bekas-bekas para pendahulunya itu, ketika mereka berjalan dimuka bumi, dan melewati bekas-bekas tersebut.(sayyid quthb, 2003: 226) dan dengan melakukan perjalanan dimuka bumi juga dapat membuktikan bahwa kerusakan-kerusakan di muka bumi ini adalah betul-betul akibat perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab serta mengingkari nikmat Allah, dan dengan melihat dan meneliti bukti-bukti sejarah, maka mereka dapat mengambil pelajaran atas peristiwa-peristiwa yang telah lalu, yang pernah menimpa umat manusia.(Moh.matsna, 2004:84)
Allah SWT menciptakan alam semesta dan segala isinya, daratan, lautan, angkasa raya, flora, fauna, adalah untuk kepentingan umat manusia (QS an-Nahl: 10-16)
Manusia sebagai khalifah Allah, diamanati oleh Allah untuk melakukan usaha-usaha agar alam semesta dan segala isinya tetap lestari, sehingga umat manusia dapat mengambil manfaat, menggali dan mengelolanya untuk kesejahteraan umat manusia dan sekaligus sebagai bekal dalam beribadah dan beramal shaleh.
Ketamakan manusia terhadap alam seperti tersebut,telah berakibat buruk terhadap diri mereka sendiri, seperti longsor, banjir, dll. Diperlukan upaya yang keras dan konsisten dari kita semua sebagai khalifah Allah agar kewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam demi kesejahteraan bersama tetap terjaga. Dalam melaksanakan kewajibannya, sebagai khalifah juga umat manusia, kita disuruh untuk mempelajari sejarah umat-umat terdahulu dan mengambil pelajaran darinya.(syamsuri, 2006:97)
Hadits tentang perbuatan manusia (Moh. Matsna, 2004: 85-86)
عَنْ أََبِى عَمْرِ وَبْنِ جُبَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: مَنْ سَنَّ      فِى اْلاِسْلاَمِ سُنّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  اُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ سُنّةً سَيِّأَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَابَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)
Artinya: dari Abi Amr Ibn Jubair Ibn Abdillah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa yang berbuat baik dalam islam, maka ia akan memperoleh pahala dari perbuatan itu dan pahala dari orang yang melaksanakan atau meniru prakarsa itu setelahnya tanpa mengurangi pahala orang-orang yang menirunya. Dan barang siapa berprakarsa yang jelek, maka ia akan mendapatkan dosa dari prakarsanya itu tanpa mengurangi dosa orang yang menirunya (HR.Muslim)
Penjelasan hadits tentang perbuatan manusia (Moh. Matsna, 2004: 86)
Hadits diatas menjelaskan bahwa siapa saja yang memprakarsai suatu perbuatan yang baik, seperti menciptakan suatu teori, metode, atau cara yang baik kemudian ditiru dan dilaksanakan oleh orang lain maka ia akan memperoleh pahala hasil prakarsa dan penemuannya itu serta pahala yang terus mengalir dari pahala-pahala orang yang menirunya dan melaksanakannya tanpa mengurangi pahala-pahala orang yang mengikutinya itu. Contohnya orang yang berusaha mengangkat kehidupan orang miskin dengan cara memberi pinjaman modal usaha kecil-kecilan. Bila usahanya sudah berjalan dan pinjamannya dapat dikembalikan dengan cara diangsur tanpa bunga, apabila perbuatan ini diikuti oleh orang lain, maka si pemrakarsa tadi akan mendapat dua pahala.
Begitu juga sebaliknya, orang yang berbuat kejahatan, ia akan mendapat dua dosa dari perbuatan dirinya dan dari dosa orang yang menirunya. Contohnya orang yang mencari lahan pertanian dengan cara membakar hutan sehingga hutan menjadi gundul dan rusak, lalu perbuatannya itu ditiru orang lain, maka ia akan mendapat dua dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejaknya
Kesimpulan
Kerusakan alam bisa terjadi karena ulah perbuatan tangan manusia sendiri
Dampak negatif  kerusakan akan dirasakan manusia
Manusia dianjurkan untuk melihat sejarah, bagaimana akibat umat yang berbuat di bumi ini, dan jadikanlah itu sebagai peringatan bagi dirinya.
Manusia diperingatkan untuk selalu mengingat Allah dan tidak menyakutukannya dengan sesuatu apapun selain dariNya, karena itu akan berdampak buruk, baik bagi lingkungan, juga bagi manusia sendiri.